Integrasi Nasional
Dosen : Yadi Priabudiman
Mata Kuliah : Pendidikan Kewarganegaraan
Program Studi : Manajemen Informatika
POLITEKNIK NEGERI LAMPUNG
Pada postingan kali ini saya akan menshare mengenai Integritas Nasional yang saya peroleh dari salah satu mata kuliah umum yaitu Pendidikan Kewarganegaraan .
Pengertian Integrasi Nasional
Integrasi berasal dari bahasa inggris
“integration” yang berarti kesempurnaan atau keseluruhan. Intergasi sosial
dimaknai sebagai proses penyesuaian di antara unsur-unsur yang saling berbeda
dalam kehidupan masyarakat yang memiliki keserasian fungsi. Integrasi sosial
akan terbentuk apabila sebagian besar masyarakat memiliki kesepakatan tentang
batas-batas teritorial, nilai-nilai, norma-norma, dan pranata-pranata sosial.
Integrasi nasional adalah usaha dan proses
mempersatukan perbedaan perbedaan yang ada pada suatu negara sehingga
terciptanya keserasian dan keselarasan secara nasional. Seperti yang kita
ketahui, Indonesia merupakan bangsa yang sangat besar baik dari kebudayaan
ataupun wilayahnya. Di satu sisi hal ini membawa dampak positif bagi bangsa
karena kita bisa memanfaatkan kekayaan alam Indonesia secara bijak atau
mengelola budaya budaya yang melimpah untuk kesejahteraan rakyat, namun selain
menimbulkan sebuah keuntungan, hal ini juga akhirnya menimbulkan masalah yang
baru.
Faktor-Faktor Pendorong Integrasi Nasional sebagai berikut:
1. Faktor sejarah yang
menimbulkan rasa senasib dan seperjuangan.
2. Keinginan untuk bersatu di
kalangan bangsa Indonesia sebagaimana dinyatakan dalam Sumpah Pemuda tanggal 28
Oktober 1928.
3. Rasa cinta tanah air di
kalangan bangsa Indonesia, sebagaimana dibuktikan perjuangan merebut,
menegakkan, dan mengisi kemerdekaan.
4. Rasa rela berkorban untuk
kepentingan bangsa dan Negara, sebagaimana dibuktikan oleh banyak pahlawan
bangsa yang gugur di medan perjuangan.
5. Kesepakatan atau konsensus
nasional dalam perwujudan Proklamasi Kemerdekaan, Pancasila dan UUD 1945,
bendera Merah Putih, lagu kebangsaan Indonesia Raya, bahasa kesatuan bahasa
Indonesia.
Faktor-Faktor Penghambat Integrasi Nasional sebagai berikut:
1) Masyarakat Indonesia yang
heterogen (beraneka ragam) dalam faktor-faktor kesukubangsaan dengan
masing-masing kebudayaan daerahnya, bahasa daerah, agama yang dianut, ras dan
sebagainya.
2) Wilayah negara yang begitu
luas, terdiri atas ribuan kepulauan yang dikelilingi oleh lautan luas.
3) Besarnya kemungkinan
ancaman, tantangan, hambatan dan gangguan yang merongrong keutuhan, kesatuan
dan persatuan bangsa, baik yang berasal dari dalam maupun luar negeri.
4) Masih besarnya ketimpangan
dan ketidakmerataan pembangunan dan hasil-hasil pembangunan menimbulkan
berbagai rasa tidak puas dan keputusasaan di masalah SARA (Suku, Agama, Ras,
dan Antar-golongan), gerakan separatisme dan kedaerahan, demonstrasi dan unjuk
rasa.
5) Adanya paham
“etnosentrisme” di antara beberapa suku bangsa yang menonjolkan
kelebihan-kelebihan budayanya dan menganggap rendah budaya suku bangsa lain.
Contoh-Contoh Pendorong Integrasi Nasional :
a. Adanya rasa
keinginan untuk bersatu agar menjadi negara yang lebih maju dan tangguh di masa
yang akan datang.
b. Rasa cinta tanah air
terhadap bangsa Indonesia
c. Adanya rasa untuk
tidak ingin terpecah belah, karena untuk mencari kemerdekaan itu adalah hal
yang sangat sulit.
d. Adanya sikap kedewasaan di
sebagian pihak, sehingga saat terjadi pertentangan pihak ini lebih baik
mengalah agar tidak terjadi perpecahan bangsa.
e. Adanya rasa senasib
dan sepenanggungan
f. Adanya rasa dan
keinginan untuk rela berkorban bagi bangsa dan negara demi terciptanya
kedamaian
Bentuk Integrasi Nasional sebagai berikut :
Asimilasi, yaitu pembauran kebudayaan yang disertai ciri khas
kebudayaan asli.
Akulturasi, yaitu penerimaan sebagian unsur-unsur asing tanpa
menghilangkan kebudayaan asli
Pentingnya Integrasi Nasional
Masyarakat yang terintegrasi dengan baik
merupakan harapan bagi setiap negara. Sebab integrasi masyarakat merupakan
kondisi yang diperlukan bagi negara untuk membangun kejayaan nasional demi
mencapai tujuan yang diharapkan. Ketika masyarakat suatu negara senantiasa
diwarnai oleh pertentangan atau konflik, maka akan banyak kerugian yang
diderita, baik kerugian berupa fisik materill seperti kerusakan sarana dan
prasarana yang sangat dibutuhkan oleh masyarakat, maupun kerugian mental
spiritual seperti perasaan kekawatiran, cemas, ketakutan, bahkan juga tekanan
mental yang berkepanjangan. Disisi lain banyak pula potensi sumber daya yang
dimiliki oleh negara, yang mestinya dapat digunakan untuk melaksanakan
pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat, harus dikorbankan untuk
menyelesaikan konflik tersebut. Dengan demikian negara yang senantiasa diwarnai
konflik di dalamnya akan sulit untuk mewujudkan kemajuan.
Integrasi masyarakat yang sepenuhnya memang
sesuatu yang tidak mungkin diwujudkan, karena setiap masyarakat disamping
membawakan potensi integrasi juga menyimpan potensi konflik atau pertentangan.
Persamaan kepentingan, kebutuhan untuk bekerja sama, serta konsensus tentang
nilai-nilai tertentu dalam masyarakat, merupakan potensi yang mengintegrasikan.
Sebaliknya perbedaan-perbedaan yang ada dalam masyarakat seperti perbedaan suku,
perbedaan agama, perbedaan budaya, dan perbedaan kepentingan adalah menyimpan
potensi konflik, terlebih apabila perbedaan-pebedaan itu tidak dikelola dan
disikapi dengan cara dan sikap yang tepat. Namun apapun kondisi integrasi
masyarakat merupakan sesuatu yang sangat dibutuhkan untuk membangun kejayaan
bangsa dan negara, dan oleh karena itu perlu senantiasa diupayakan. Kegagalan
dalam mewujudkan integrasi masyarakat berarti kegagalan untuk membangun
kejayaan nasional, bahkan dapat mengancam kelangsungan hidup bangsa dan negara
yang bersangkutan.
Sejarah indonesia adalah sejarah yang
merupakan proses dari bersatunya suku-suku bangsa menjadi sebuah bangsa. Ada
semacam proses konvergensi, baik yang desengaja maupun tidak disengaja, ke arah
menyatunya suku-suku tersebut menjadi satu kesatuan negara dan bangsa.
(sumartana dkk, 2001:100)
Integrasi Nasional Indonesia
Dimensi
Integrasi Nasional
Integrasi nasional dapat dilihat dari dua
dimensi, yaitu dimensi vertikal dan dimensi horizontal. Dimensi vertikal dari
integrasi adalah dimensi yang berkenaan dengan upaya menyatukan persepsi,
keinginan, dan harapan yang ada antara elite dan massa atau antara pemerintah
dan rakyat. Jadi integrasi vertikal merupakan upaya mewujudkan integrasi dengan
menjebatani perbedaan-perbedaan antara pemerintah dan rakyat. Integrasi
nasional dalam dimensi yang demikian biasa disebut dengan integrasi politik.
Sedangkan dimensi horisontal dari integrasi adalah dimensi yang berkenaan
dengan upaya mewujudkan persatuan di antara perbedaan-perbedaan yang ada dalam
masyarakat itu sendiri, baik perbedaan wilayah tempat tinggal, perbedaan suku,
perbedaan agama, perbedaan budaya dan perbedaan-perbedaan lainnya. Jadi
integrasi horisontal merupakan upaya mewujudkan integrasi dengan menjembatani
perbedaan antar kelompok dalam masyarakat. Integrasi nasional dalam dimensi ini
biasa disebut dengan integrasi teritorial.
Pengertian integrasi nasional mencakup dimensi
vertikal maupun dimensi horizontal. Dengan demikian persoalan integrasi
nasional menyangkut keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat, serta
keserasian hubungan di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat dengan latar
belakang perbedaan di dalamnya. Dalam upaya mewujudkan integrasi nasional
indonesia, tantangan yang di hadapi datang dari keduanya. Dalam dimensi
horizontal tantangan yang ada berkenaan dengan pembelahan horizontal yang
berakar pada perbedaan suku, agama, ras, dan geografi. Sedangkan dalam dimensi
vertikal tantangan yang ada adalah berupa celah perbedaan antara elite dan
massa, dimana latar belakang pendidikan kekotaan menyebabkan kaum
elite berbeda dari massa yang cenderung berpandangan tradisional. Masalah yang
berkenaan dengan dimensi vertikal lebih sering muncul ke permukaan setelah
berbaur dengan dimensi horizontal, sehingga memberikan kesan bahwa dalam kasus
indonesia dimensi horizontal lebih menonjol dari pada dimensi vertikalnya.
(Sjamsuddin, 1989:11).
Tantangan integrasi nasional tersebut lebih
menonjol ke permukaan setelah memasuki era reformasi tahun 1998. Konflik
horizontal maupun vertikal sering terjadi bersamaan dengan melemahnya otoritas
pemerintahan di pusat. Kebebasan yang digulirkan pada era reformasi sebagai
bagian dari proses demokratisasi yang telah banyak disalahgunakan oleh
kelompok-kelompok dalam masyarakat untuk bertindak seenaknya sendiri, tindakan
mana kemudian memunculkan adanya gesekan-gesekan antar kelompok dalam
masyarakat dan memicu terjadinya konflik atau kerusuhan antar kelompok.
Bersamaaan dengan itu demontrasi menentang kebijakan pemerintah juga banyak
terjadi, bahkan seringkali demonstrasi itu diikuti oleh tindakan-tindakan
anarkis.
Keinginan yang kuat dari pemerintah untuk
mewujudkan aspirasi masyarakat, kebijakan pemerintah yang sesuai dengan
kebutuhan dan harapan masyarakat, dukungan masyarakat terhadap pemerintah yang
sah, dan ketaatan warga masyarakat melaksanakan kebijakan pemerintah adalah
pertanda adanya integrasi dalam arti vertikal. Sebaliknya kebijakan demi
kebijakan yang diambil oleh pemerintah yang tidak atau kurang sesuai dengan
keinginan dan harapan masyarakat serta penolakan sebagian besar warga
masyarakat terhadap kebijakan pemerintah menggambarkan kurang adanya integrasi
vertikal. Memang tidak ada kebijakan pemerintah yang melayani dan memuaskan
seluruh warga masyarakat, tetapi setidak-tidaknya kebijakan pemerintah
hendaknya dapat melayani keinginan dan harapan sebagian besar warga masyarakat.
Sedangkan jalinan hubungan dan kerjasama di
antara kelompok-kelompok yang berbeda dalam masyarakat, kesediaan untuk hidup
berdampingan secara damai dan saling menghargai antara kelompok-kelompok
masyarakat dengan pembedaaan yang ada satu sama lain, merupakan pertanda adanya
integrasi dalam arti horizontal. Pertentangan atau konflik antar kelompok
dengan berbagai latar belakang perbedaan yang ada, tidak pernah tertutup sama
sekali kemungkinannya untuk terjadi. Namun yang diharapkan bahwa konflik itu
dapat dikelola dan dicarikan solusinya dengan baik, dan terjadi dalam kadar
yang tidak terlalu mengganggu upaya pembangunan bagi kesejahteraan masyarakat
dan pencapaian tujuan nasional.
Mewujudkan
integrasi nasional indonesia
Salah satu persoalan yang dialami oleh
negara-negara berkembang termasuk indonesia dalam mewujudkan integrasi nasional
adalah masalah primordialisme yang masih kuat. Titik pusat goncangan primordial
biasanya berkisar pada beberapa hal, yaitu masalah hubungan darah (kesukuan),
jenis bangsa (ras), bahasa, daerah, agama, dan kebiasaan. (geertz, dalam :
sudarsono, 1982: 5-7).
Di era globalisasi, tantangan itu bertambah
oleh adanya tarikan global dimana keberadaan negara dan bangsa sering dirasa
terlalu sempit untuk mewadahi tuntunan dan kecenderungan global. Dengan
demikian keberadaan negara berada dalam dua tarikan sekaligus, yaitu tarikan
dari luar berupa globalisasi yang cenderung mengabaikan batas-batas
negara-bangsa, dan tarikan dari dalam berupa kecenderungan menguatnya
ikatan-ikatan yang sempit seperti ikatan etnis, kesukuan, atau kedaerahan.
Disitulah nasionalisme dan keberadaan negara nasional mengalami tantangan yang
semakin berat.
Namun demikian harus tetap diyakini bahwa
nasionalisme sebagai karakter bangsa tetap diperlukan di era indonesia merdeka
sebagai kekuatan untuk menjaga eksistensi, sekaligus mewujudkan taraf peradaban
yang luhur, kekuatan yang tangguh, dan mencapai negara-bangsa yang besar.
Nasionalisme sebagai karakter semakin diperlukan dalam menjaga harkat dan
martabat bangsa di era globalisasi karena gelombang “peradaban kesejagatan”
ditandai oleh semakin kaburnya batas-batas teritorial negara akibat gempuran
informasi dan komunikasi. (budimansyah dan suryadi, 2008:164).
Dengan kondisi masyarakat indonesia yang
diwarnai oleh berbagai keanekaragaman, harus disadari bahwa masyarakat
indonesia menyimpan potensi konflik yang sangat besar, baik konflik yang
bersifat vertikal maupun bersifat horizontal. Dalam dimensi vertikal, sepanjang
sejarah sejak proklamasi indonesia hampir tidak pernah lepas dari gejolak
kedaerahan berupa tuntutan untuk memisahkan diri. Sedangkan dalam dimensi
horizontal, sering pula dijumpai adanya gejolak atau pertentangan diantara
kelompok-kelompok dalam masyarakat, baik konflik yang bernuansa ras, kesukuan,
keagamaan, atau antar golongan. Disamping itu juga konflik yang bernuansa
kecemburuan sosial.
Dalam skala nasional, kasus aceh, papua,
ambon, merupakan konflik yang bersifat vertikal dengan target untuk memisahkan
diri dari negara republik indonesia. Kasus-kasus tersebut dapat dilihat sebagai
konflik antara masyarakat daerah dengan otoritas kekuasaan yang ada di pusat.
Disamping masuknya kepentingan-kepentingan tertentu dari masyarakat yang ada di
daerah, munculnya konflik tersebut merupakan ekspresi ketidakpuasan terhadap
kebijakan pemerintah pusat yang diberlakukan di daerah. Kebijakan pemerintah
pusat dianggap memunculkan kesenjangan antar daerah, sehingga ada daerah-daerah
tertentu yang sangat maju pembangunannya, sementara ada daerah-daerah yang
masih terbelakang. Dalam hubungan ini isu dikhotomi jawa dan luar jawa sangat
menonjol, dimana jawa dianggap mempresentasikan pusat kekuasaan yang kondisinya
sangat maju, sementara hanya daerah-daerah di luar jawa yang merasa
menyumbangkan pendapatan yang besar pada negara, kondisinya masih terbelakang.
Dengan mengacu pada faktor-faktor terjadinya konflik kedaerahan sebagaimana
disebutkan diatas, konflik kedaerahan di indonesia terkait secara akumulatif
dengan berbagai faktor tersebut.
Sejak awal berdirinya negara indonesia, para
pendiri negara menghendaki persatuan di negara ini diwujudkan dengan menghargai
terdapatnya perbedaan di dalamnya. Artinya bahwa upaya mewujudkan integrasi
nasional indonesia dilakukan dengan tetap memberi kesempatan kepada unsur-unsur
perbedaan yang ada untuk dapat tumbuh dan berkembang secara bersama-sama.
Proses pengesahan pembukaan UUD 1945 oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945
yang bahannya diambil dari naskah piagam jakarta, dan didalamnya terdapat
rumusan dasar-dasar negara pancasila, menunjukkan pada kjita betapa tokoh-tokoh
pendiri negara (the founding fathers) pada waaktu itu menghargai
perbedaan-perbadaan yang terdapat dalam kehidupan masyarakat indonesia. Para
pendiri negara rela mengesampingkan persoalan perbedaan-perbedaan yang ada demi
membangun sebuah negara yang dapat melindungi seluruh rakyat indonesia.
Sejalan dengan itu dipakailah semboyan bhineka
tunggal ika, yang artinya walaupun berbeda-beda tetapi tetap satu adanya.
Semboyan tersebut sama maknanya dengan istilah “unity in diversity:”, yang
artinya bersatu dalam keanekaragaman, sebuah ungkapan yang menggambarkan cara
menyatukan secara demokratis suatu masyarakat yang didalamnya diwarnai oleh
adanya berbagai perbedaan. Dengan semboyan bhineka tunggal ika tersebut segala
perbedaan dalam masyarakat ditanggapi bukan sebagai keadaan yang menghambat
persatuan dan kesatuan bangsa, melainkan sebagai kekayaan budaya yang dapat
dijadikan sumber pengayaan kebudayaan nasional kita.
Untuk terwujudnya masyarakat yang
menggambarkan semboyan bhineka tunggal ika, diperlukan pandangan atau wawasan
multikulturalisme. Multikulturalisme adalah pandangan bahwa setiap kebudayaan
memiliki nilai dan kedudukan yang sama dengan kebudayaan lain, sehingga setiap
kebudayaan berhak mendapatkan tempat sebagaimana kebudayaan lainnya. (baidhawy.
2005:5). Perwujudan dari multikulturalisme adalah kesediaan orang-orang dari
kebudayaan yang beragam untuk hidup berdampingan secara damai. Disini
diperlukan sikap hidup yang memandang perbedaan di antara anggota masyarakat
sebagai kenyataan wajar dan tidak menjadikan perbedaan tersebut sebagai alasan
untuk berkonflik. Disamping itu perlu memandang kebudayaan orang lain dari
perspektif pemilik kebudayaan yang bersangkutan, dan bukan memandang kebudayaan
orang lain dari perspektif dirinya sendiri. Oleh karena itu multikulturalisme
menekankan pentingnya belajar tentang kebudayaan-kebudayaan lain dan mencoba
memahaminya secara penuh dan empatik sehingga dapat menghargai
kebudayaan-kebudayaan lain disamping kebudayaannya sendiri.
0 Response to "Integrasi Nasional"
Posting Komentar